Mengangkat Disertasi Tentang Rumah Adat Papua, Imelda Baransano Raih Gelar Doktor Sosiologi Agama Fakultas Teologi UKSW

Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) kembali mencatatkan jejak istimewa dalam perjalanan akademiknya. Pada Jumat (20/06/2025), Program Studi Doktor Sosiologi Agama secara resmi menggelar yudisium bagi Imelda Baransano, putri terbaik dari Tanah Papua, yang dinyatakan lulus setelah mempertahankan disertasi bertajuk “Saliyab: Rumah Adat sebagai Model Rekonstruksi Identitas Manusia Papua di Grime Nawa.” Prosesi yudisium yang khidmat ini dipimpin langsung oleh Rektor UKSW, Profesor Intiyas Utami, di hadapan para promotor, keluarga, dan civitas academica.

Imelda Baransano merupakan figur yang kaya pengalaman akademik dan spiritual. Ketertarikannya pada dunia misiologi membawanya menempuh pendidikan lanjutan di STFT I.S. Kijne Jayapura (2016). Kini, ia mengabdi sebagai Pendeta GKI di Tanah Papua, dan tercatat sebagai dosen tidak tetap di berbagai perguruan tinggi di Jayapura.

Dalam disertasinya, Imelda menggali secara mendalam makna rumah adat Saliyab sebagai ruang kultural dan spiritual yang merekonstruksi identitas manusia Papua di tengah arus modernisasi yang kian deras. Penelitian ini menemukan bahwa modernisasi sejak 1924 telah mendistorsi identitas manusia Papua di Grime Nawa. 

Masyarakat adat merespons dengan revitalisasi Saliyab sebagai pusat rekonstruksi jati diri. Melalui pendekatan Research and Development dengan quasi eksperimen, intervensi pada 60 responden menunjukkan bahwa Saliyab efektif menjadi simbol pemulihan identitas, edukasi, dan ruang sakral. 

“Saliyab bukan sekadar rumah adat, tetapi juga tempat perjumpaan manusia, alam, dan Wairam atau transenden,” ujar wanita kelahiran Sorong ini. Tujuh hasil penelitiannya menguatkan bahwa identitas Papua terjaga melalui filosofi adat, simbol sakral, dan ruang harmoni sosial.

Membawa Semangat Creative Minority

Rektor Intiyas, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi yang mendalam terhadap capaian Imelda. Ia menekankan bahwa karya ini bukan sekadar pencapaian akademik, namun juga kontribusi bermakna dalam membangun kesadaran kolektif akan pentingnya kearifan lokal. “Saya terpana menyimak orasi Ibu Imelda. Rasanya seperti sedang duduk di bale-bale Saliyab yang penuh makna. Ini bukan sekadar rumah adat, tapi rumah nilai, rumah pendidikan, bahkan rumah spiritualitas,” ungkapnya.

Rektor Intiyas juga menegaskan bahwa Imelda bukan hanya mengenakan toga, tetapi juga menyandang identitas sebagai bagian dari creative minority, kelompok yang membawa perubahan melalui keberanian untuk mengangkat nilai-nilai luhur di tengah tantangan zaman. Ia berharap Imelda dapat menjadi inspirasi bagi banyak perempuan Papua, sekaligus agen perubahan di tanah kelahirannya.

“Sebagai perempuan Papua, prestasi Ibu Imelda dalam pendidikan ini sangat membanggakan. Ketika nanti kembali ke tanah Papua, bawalah semangat creative minority itu. Jadilah pembawa terang, pelopor perubahan, dan inspirasi bagi generasi muda di sana,” pesan Rektor Intiyas.

Tak ketinggalan, Rektor Intiyas turut menyampaikan bahwa riset Imelda merupakan bagian dari kontribusi UKSW terhadap pencapaian global. “Saat ini, UKSW tercatat masuk peringkat 800-1000 perguruan tinggi dunia versi THE Impact Ranking, dan karya ini turut memberi warna di dalamnya,” ujar Rektor Intiyas menutup sambutannya dengan penuh haru dan kebanggaan.

Upaya Menggali Karya Allah

Promotor disertasi ini, Pendeta Izak Lattu, Ph.D., turut menyampaikan rasa bangganya. Ia menegaskan bahwa riset yang dilakukan Imelda merupakan karya interdisiplin yang tidak hanya berdiri dalam ruang teologi, tetapi juga menyentuh ranah sosiologi, antropologi, dan filsafat sosial. 

“Ayat-ayat Kitab Suci tidak tertulis secara langsung di disertasi ini, tetapi mewahyu dalam kehidupan masyarakat. Apa yang dilakukan Ibu Imelda adalah upaya menggali karya Allah dalam konteks masyarakat Papua, dan ini sangat penting untuk terus dikembangkan,” tuturnya.

Selain promotor, keterlibatan Kopromotor I Dr. Suwarto, M.Si. dan Kopromotor II Pdt. Tony Tampake, M.Si., menjadi bagian penting dalam mendampingi proses akademik kandidat doktor. Pengujian disertasi juga dilakukan secara menyeluruh oleh Dr. Sri Aryanti Kristianingsih, M.Si., M.H., Psikolog sebagai Penguji I, serta Pendeta Dr. Martha M. Wospakrik, M.Th., yang hadir secara daring sebagai Penguji II. 

Yudisium ini turut dihadiri tokoh-tokoh dari Tanah Papua, yakni Pimpinan Adat Masyarakat Grime Nawa, Johanes Lensru, Pimpinan Lembaga Solidaritas Perempuan Papua sekaligus aktivis perempuan adat Grime Nawa, Abina Beno, S.Ak., Pelayan Firman GKI di Tanah Papua, Pendeta Sostenes Sumihe, Ph.D., serta perwakilan dari Badan Pekerja Klasis Muara Tami, Pendeta Abrahan Mayor, S.Th. 

Melalui karya akademik ini, UKSW menegaskan komitmennya untuk mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) ke-4 pendidikan berkualitas, SDGs ke-5 kesetaraan gender, SDGs ke-10 mengurangi ketimpangan, SDGs ke-11 kota dan pemukiman yang berkelanjutan, SDGs ke-16 perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh. 

Sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terakreditasi Unggul, UKSW telah berdiri sejak 1956 dengan 15 fakultas dan 64 program studi di jenjang D3 hingga S3, dengan 31 Prodi Unggul dan A. Terletak di Salatiga, UKSW dikenal dengan julukan Kampus Indonesia Mini, mencerminkan keragaman mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah. Selain itu, UKSW juga dikenal sebagai “Creative Minority” yang berperan sebagai agen perubahan dan inspirasi bagi masyarakat. (Ish_TimKomblik/foto:Ish)

Bagikan di jejaring sosial: