Dalam upaya memperluas cakrawala pemahaman hukum internasional di tengah ketegangan perdagangan global, Pusat Studi Hukum Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menggelar Seminar Internasional bertajuk “International Trade in the Era of Global Trade Wars”, Selasa (08/07/2025) malam. Seminar yang diselenggarakan secara daring ini berhasil menghimpun 216 peserta dari dosen dan mahasiswa.
Seminar ini menghadirkan dua narasumber terkemuka di bidangnya, yakni pakar hukum internasional publik dan kekayaan intelektual dari Charles Darwin University Profesor David Price, serta Guru Besar Hukum dan Ekonomi dari Fakultas Hukum UKSW Profesor Yafet Yosafet Wilben Rissy. Jalannya diskusi dipandu oleh Dr. Theofransus Litaay selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum UKSW, yang turut memperkaya dialog akademik dengan perspektif kritis dan reflektif.
Dekan Fakultas Hukum UKSW, Profesor Christina Maya Indah S dalam sambutannya menekankan pentingnya kolaborasi lintas institusi dalam menjawab tantangan global. “Kerja sama internasional merupakan fondasi penting dalam peningkatan mutu pendidikan tinggi. Seminar ini menjadi cerminan sinergi yang membuka cakrawala pemikiran civitas academica terhadap dinamika perdagangan dan investasi internasional,” ujarnya sembari menyampaikan rencana penjajakan kerja sama formal antara UKSW dan Charles Darwin University.
Sesi pertama dipaparkan oleh Profesor David Price, pakar hukum internasional publik dan kekayaan intelektual dari Charles Darwin University, yang juga dikenal sebagai penasihat hukum sejumlah investor di kawasan Asia. Ia menyoroti bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dalam perjanjian investasi bilateral (BITs) dan perjanjian dagang internasional (FTAs, IIAs) kerap kali menjadi alat dalam strategi perang dagang antar negara.
“Perjanjian semacam ini memungkinkan investor menuntut negara tuan rumah melalui forum arbitrase internasional, alih-alih pengadilan domestik, dengan dasar perlindungan atas berbagai bentuk aset, termasuk kekayaan intelektual,” ungkapnya.

Forum Reflektif dan Strategis
Sementara itu, Profesor Yafet, dalam presentasinya menguraikan secara komprehensif konsep dan sejarah tariff war, serta implikasinya terhadap stabilitas ekonomi global dan nasional. Ia menjelaskan bahwa praktik perang tarif, yang kerap dilakukan secara sepihak oleh negara besar seperti Amerika Serikat, bukan hanya melanggar prinsip dasar WTO seperti Most Favoured Nation dan National Treatment, tetapi juga berdampak langsung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Data terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga April 2025 hanya mencapai 4,87%, sementara target nasional adalah 5,2%,” ungkap Profesor Yafet. Dalam konteks ini, ia menekankan pentingnya strategi diplomasi ekonomi Indonesia melalui percepatan implementasi Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), penguatan posisi dalam forum Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, serta optimalisasi keunggulan komparatif Indonesia di sektor sumber daya alam.
Lebih jauh, Profesor Yafet menyoroti bahwa selain dampak negatif seperti inflasi dan menurunnya ekspor, perang dagang juga membuka peluang strategis, termasuk relokasi manufaktur dan dorongan inovasi teknologi di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, diperlukan konsistensi dalam kebijakan fiskal dan moneter nasional yang mendukung daya saing industri serta keberlanjutan perdagangan luar negeri.
Seminar yang menjadi forum reflektif dan strategis ini turut menandai dukungan UKSW terhadap Sustainable Development Goals (SDGs) ke-4 pendidikan berkualitas, SDGs ke-17 kemitraan untuk mencapai tujuan, SDGs ke-8 pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, dan SDGs ke-16 perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh. Seminar ini juga menjadi kontribusi UKSW terhadap program Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Diktisaintek) Berdampak yang selaras dengan Asta Cita 2 memantapkan sistem pertahanan keamanan negeri, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau dan ekonomi biru, serta Asta Cita 4 memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, dan pendidikan.
Sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terakreditasi Unggul, UKSW telah berdiri sejak 1956 dengan 15 fakultas dan 64 program studi di jenjang D3 hingga S3, dengan 32 Prodi Unggul dan A. Terletak di Salatiga, UKSW dikenal dengan julukan Kampus Indonesia Mini, mencerminkan keragaman mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah. Selain itu, UKSW juga dikenal sebagai “Creative Minority” yang berperan sebagai agen perubahan dan inspirasi bagi masyarakat. (Ish_TimKomblik/foto:Ish)


BACA JUGA: