Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan yang mengubah wajah pendidikan tinggi global, Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Profesor Intiyas Utami, tampil sebagai panelis dalam ACUCA 2025 Management Conference & 26th General Assembly di Kyoto, Jepang. Forum bergengsi ini mempertemukan pemimpin universitas Kristen Katolik se-Asia untuk merumuskan arah baru pendidikan yang mengintegrasikan etika, iman, dan teknologi.
Hadir bersama Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Kealumnian Profesor Yafet Yosafet Wilben Rissy, Rektor Intiyas sangat antusias membagikan pendekatan unik kampusnya dalam mendidik hati dan pikiran mahasiswa sebagai minoritas kreatif. Kegiatan pertemuan rektor dan pimpinan perguruan tinggi Kristen Katolik se-Asia yang tergabung dalam Association of Christian Universities and Colleges in Asia (ACUCA) ini diselenggarakan di Doshisha University, Kyoto, Jepang.
Kegiatan yang berlangsung selama dua hari, Selasa dan Rabu (14 & 15/10/2025) ini menjadi forum strategis untuk membahas arah masa depan universitas Kristen Katolik di tengah dinamika dan tantangan dunia pendidikan tinggi saat ini. Tahun ini, kegiatan mengusung tema “Educating the Heart & Mind in the Age of AI” dengan Profesor Eiko Kato-Otani President of Osaka Jogakuin University & College, sebagai keynote speaker.
Rektor jadi panelis
Rektor Intiyas menjadi pembicara panel yang membahas tantangan dan peluang pendidikan Kristen di era kecerdasan buatan, mengangkat praktik inovatif dari kampus Salatiga ke panggung Asia. Dalam paparannya, Rektor Intiyas membagikan pengalaman UKSW dalam mengintegrasikan nilai-nilai Kristiani dalam inovasi akademik serta penguatan kepemimpinan etis di lingkungan pendidikan tinggi. Rektor perempuan pertama di UKSW ini menekankan pentingnya pendidikan yang tidak hanya menumbuhkan kecerdasan intelektual saja tetapi juga membentuk karakter dan spirituliatas mahasiswa, sehingga menjadi seorang Creative minority.
Lebih lanjut, Rektor Intiyas menyampaikan konsep Imago Dei yang diterapkan di UKSW di mana menempatkan mahasiswa serupa dan segambar dengan Allah dengan mengembangkan talentanya masing-masing melalui karya nyata, salah satunya melalui Tugas Talenta Unggul (TTU) yang menjadi pengganti skripsi.

Pendidikan Kristen dan Tantangannya
Sementara itu, dalam pidatonya yang berjudul “Educating the Heart and Mind in the Age of AI,” Profesor Eiko Kato-Otani mengajak peserta untuk merefleksikan bagaimana pendidikan tinggi Kristen dapat menanggapi secara setia dan kreatif terhadap janji dan tantangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Ia menyoroti bahwa teknologi generative AI seperti ChatGPT telah mengubah secara drastis lanskap pembelajaran dan kehidupan akademik. Saat ini, mahasiswa dapat menulis esai dengan bantuan AI, dosen menghadapi bentuk-bentuk baru plagiarisme, dan institusi mulai memanfaatkan analitik prediktif serta sistem penilaian otomatis.
Menurutnya, perkembangan ini membuka peluang untuk demokratisasi pendidikan dan peningkatan efisiensi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendalam:
“Apa yang akan terjadi pada kreativitas dan orisinalitas manusia? Siapa yang akan memiliki akses terhadap AI, dan siapa yang akan tertinggal? Dan yang terpenting, bagaimana kita dapat membekali mahasiswa agar bertindak secara etis di dunia di mana mesin semakin ‘berpikir’ atas nama mereka?”.
Dalam forum tahunan ACUCA ini juga dibahas peluang dan peran perguruan tinggi Kristen Katolik dalam menghadapi perubahan zaman, khususnya dalam konteks kemajuan teknologi dan keberagaman sosial budaya. Isu-isu seperti nilai Kristiani, keberagaman agama dan budaya, inklusivitas, toleransi, kepemimpinan etis, serta jaminan mutu pendidikan ikut menjadi topik diskusi.
Kehadiran UKSW dalam forum internasional ini menegaskan komitmen kampus ini untuk terus berperan aktif dalam jejaring pendidikan tinggi Kristen Katolik di kawasan Asia juga menunjukkan perhatian kampus dalam terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke-3 kehidupan sehat dan sejahtera, SDGs ke-4 pendidikan berkualitas.
UKSW juga turut berkontribusi dalam mencapai program Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Diktisaintek) Berdampak yang selaras dengan Asta Cita 4 memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM). Sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terakreditasi Unggul, UKSW telah berdiri sejak 1956 dengan 15 fakultas dan 65 program studi di jenjang D3 hingga S3, dengan 34 Prodi Unggul dan A. Terletak di Salatiga, UKSW dikenal dengan julukan Kampus Indonesia Mini, mencerminkan keragaman mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah. Selain itu, UKSW juga dikenal sebagai “Creative Minority” yang berperan sebagai agen perubahan dan inspirasi bagi masyarakat. Salam Satu Hati UKSW!
BACA JUGA: