Dari Satu Pohon Lahir Seribu Kenangan Bagi Anak Cucu: Kisah Eyang Narto Sang Perawat Bumi UKSW 

Di balik sejuk dan rindangnya Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), ada sosok unggul Drs. Soenarto Notosoedarmo, M.Sc., yang namanya perlahan menjelma menjadi legenda, pribadi yang mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan pepohonan di kampus. 

Bermula dari kecintaannya terhadap tanaman, sejak tahun 1973 pria yang akrab disapa Eyang Narto ini memulai aksi berdampaknya melestarikan lebih dari 150 spesies tanaman dengan tata nama Binomial Nomenclature di kampus UKSW. Di tangan dan langkahnya, penghijauan bukan sekadar program kerja, melainkan panggilan jiwa. Semua aksinya berawal dari hal yang sederhana yakni memberi nama pohon-pohon yang tumbuh di lingkungan kampus.

“Memberi nama pada pohon di kampus dapat bermanfaat bagi civitas academica dan masyarakat umum yang berkunjung ke kampus sebagai media pembelajaran. Pohon-pohon tersebut juga sebagai simbol untuk memberikan kenangan bagi anak dan cucu,” ujar dosen pensiun purna tugas Fakultas Biologi ini. 

Insan Berdedikasi

Gagasannya kemudian berkembang menjadi gerakan “Kampusku Floraku”, sebuah komitmen dan visi untuk memperkaya pengetahuan, melestarikan tanaman, dan menghidupkan budaya cinta lingkungan. “Kampusku Floraku adalah kata yang sarat makna, kata kampus-flora sebagai tempat melestarikan kekayaan tanaman, sedangkan kata ku berarti rasa memiliki,” ungkap pria kelahiran 1942 ini. 

Dedikasi tak lekang waktu tersebut berakar kuat, bertumbuh meneduhi, memberi dampak, dan akhirnya menghasilkan buah yang manis. Pada Peringatan Dies Natalis ke-69 UKSW dalam Rapat Senat Terbuka Universitas di Balairung Universitas pada Senin (01/12/2025), Eyang Narto menerima penghargaan dari UKSW sebagai Insan Talenta Unggul yang Berdedikasi bagi Kampus Hijau. “Penghargaan ini adalah sebuah bukti dari langkah kecil untuk melestarikan pohon di kampus. Hal yang paling berkesan selain mendapatkan penghargaan ini adalah melihat pohon yang dulu ditanam bertumbuh memberi kehidupan bagi lingkungan,” ungkapnya penuh haru. 

Eyang Narto menerangkan UKSW dikenal sebagai Kampus Indonesia Mini bukan hanya karena keberagaman suku dan budaya mahasiswanya, tetapi juga dari kekayaan floranya. Tak kenal lelah, selama 29 tahun mengabdi bagi kampus, ia terus gigih mendokumentasikan keberagaman pohon, rumput, hingga tanaman langka, menyusun laporan demi laporan dan menciptakan berbagai karya ilmiah berdampak yang dirangkum dalam sebuah buku berjudul “Kampusku Floraku”.

Eyang Narto Perawat Bumi UKSW
Eyang Narto Perawat Bumi UKSW

UKSW Menjadi Contoh dan Teladan

Seperti pepatah ‘Kutu di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak’, seringkali generasi muda saat ini mengabaikan pentingnya tanaman bagi masa depan. Eyang Narto menerangkan bahwa keberadaan tumbuhan sangat diperlukan oleh makhluk hidup. Berbagai tanaman di kampus tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan landscape saja, tetapi bermanfaat sebagai bahan bangunan dan bahan obat. 

Sebagai seorang dosen bidang Taksonomi Tanaman, Eyang Narto percaya bahwa belajar harus dimulai dari mengenali realitas tanaman itu sendiri. Ia mengajak insan creative minority lainnya untuk menyentuh langsung tanaman, mencium aroma bunga, mengamati helai demi helai daun, agar memahami bahwa ilmu bukan hanya dari buku tetapi dari kehidupan sehari-hari.  

Eyang Narto menegaskan bahwa UKSW sebagai salah satu perguruan tinggi yang memiliki peranan penting dalam pelestarian jenis flora bahkan fauna, ruang hijau di kampus bisa menjadi contoh dan teladan bagi universitas lainnya di Indonesia. “Semua spesies pohon dan perdu yang di inventaris di kampus tergolong sekurang-kurangnya dalam empat puluh dua famili dan familia Arecaceae memiliki jumlah jenis terbanyak. Kalau di Indonesia dihuni tidak kurang dari 460 species palm, maka 0,002% nya sudah terwakili di UKSW,” jelasnya dalam buku Kampusku Floraku

Ketika diminta menyampaikan pesan untuk generasi muda tentang pentingnya menjaga lingkungan, Eyang Narto menekankan bahwa anak muda harus memiliki hubungan nyata dengan tanaman yang ada di sekitar mereka. 

“Jangan hanya mengetahui nama tanaman dari internet saja, melainkan juga mengenali bentuk aslinya, warnanya hingga karakteristik ilmiahnya. Kehadiran anak muda memiliki peranan penting untuk melanjutkan gerakan ini hingga lintas generasi,” ujarnya. 

Pria berusia 83 tahun ini berharap UKSW memiliki tim khusus yang bertugas mengelola, mencari, menanam, dan merawat berbagai jenis tanaman di kampus ini. Menanam pohon tidak selalu dari mahasiswa, tetapi juga harus melibatkan alumni dan masyarakat. “Dengan begitu, siapapun yang pernah menanam pohon di kampus ini akan memiliki ikatan emosional, rasa memiliki, dan menghargai lingkungan,” pungkasnya. 

Dedikasi Eyang Narto merupakan kontribusi nyata kampus dalam mendukung program Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Diktisaintek) Berdampak yang selaras dengan Asta Cita 4 yaitu memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, dan pendidikan. 

Selain itu juga menegaskan kiprah UKSW dalam mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), ke-4 yaitu pendidikan berkualitas, ke-13 yaitu penanganan perubahan iklim, dan ke-15 yaitu ekosistem daratan. Sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terakreditasi Unggul, UKSW telah berdiri sejak 1956 dengan 15 fakultas dan 64 program studi di jenjang D3 hingga S3, dengan 34 Prodi Unggul dan A. Terletak di Salatiga, UKSW dikenal dengan julukan Kampus Indonesia Mini, mencerminkan keragaman mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah. Selain itu, UKSW juga dikenal sebagai “Creative Minority” yang berperan sebagai agen perubahan dan inspirasi bagi masyarakat. Salam Satu Hati UKSW! (Wiw_TimKomblik/foto:Hes,Des)

Eyang Narto Perawat Bumi UKSW
Eyang Narto Perawat Bumi UKSW
Bagikan:
Facebook
Share
WhatsApp