Dua perempuan dari dua dunia yang berbeda, daratan Sambi Prambanan dan laut Bunaken menjejakkan tonggak penting dalam perjalanan akademik melalui Promosi dan Yudisium Program Studi (Prodi) Doktor Studi Pembangunan (DSP) Fakultas Interdisiplin (FID) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Di Ruang Probowinoto, belum lama ini, mereka bukan hanya meraih gelar doktor, tetapi membawa serta dua kisah perubahan. Satu tentang masyarakat yang meninggalkan tambang menuju pariwisata, dan satu lagi tentang laut yang menuntut keadilan dalam pengelolaan bersama.
Menyigi Jalan Panjang Transformasi Penghidupan
Lahir di Bantul 55 tahun yang lalu, Dr. Agnes Ratih Ari Indriyani, S.E., M.Si., adalah akademisi Ekonomi Pembangunan dari Universitas Janabadra yang telah lama bergulat dengan isu ketahanan ekonomi, disparitas wilayah, pemberdayaan usaha kecil, serta dinamika rumah tangga dalam ekosistem pariwisata. Perjalanan pendidikannya dari S1 dan S2 di Universitas Gadjah mada (UGM) hingga merampungkan S3 di UKSW meneguhkan kepeduliannya terhadap transformasi ekonomi lokal yang adil dan berkelanjutan.
Dalam disertasi berjudul “Dari Tambang ke Pariwisata: Kajian Penghidupan Berkelanjutan Masyarakat Desa Sambi Prambanan”, Agnes Ratih menelisik perubahan sosial-ekonomi masyarakat Sambi, Yogyakarta, yang beralih dari aktivitas penambangan batu menuju sektor pariwisata. Berpijak pada Sustainable Livelihood Framework, ia menemukan bahwa pariwisata memang membuka peluang ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan warga. Namun, pergeseran ini belum sepenuhnya meredakan kerentanan, sebab masyarakat masih bertumpu pada satu sumber penghidupan dan menghadapi keterbatasan kapasitas adaptif. “Kita melihat peningkatan pendapatan, tetapi fondasi ketahanan belum kuat. Masyarakat masih berjalan di satu kaki,” ujarnya.
Agnes Ratih menekankan bahwa kunci keberlanjutan terletak pada penguatan kelembagaan lokal, diversifikasi ekonomi, dan pembangunan kapasitas masyarakat lintas generasi. Dalam orasi akademiknya, ia menegaskan, “Pembangunan pariwisata tidak boleh hanya memindahkan mata pencaharian, tetapi harus memerdekakan masyarakat dari kerentanan yang membuat mereka rapuh dari waktu ke waktu,” tandasnya.
Dalam sambutannya, Promotor 1, Profesor Dr. Gatot Sasongko, mengapresiasi ketekunan proses panjang Agnes Ratih. “Dr. Agnes telah menunjukkan karya yang matang. Kami berharap, seperti pohon kelengkeng yang berbuah terus setiap musim, karya ini bukan yang terakhir, melainkan pembuka bagi kontribusi-kontribusi baru yang semakin memberi manfaat bagi masyarakat,” tuturnya.

Menawarkan Model Ko-Manajemen Baru bagi Bunaken
Sementara itu, Dr. Elvira Mercy Katuuk, Aparatur Sipil Negara (ASN) di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sulawesi Utara yang sehari-hari mengabdi pada kebijakan pembangunan daerah, menegaskan komitmennya melalui penelitian mendalam berjudul “Sustainable Tourism Development: Studi Kasus Model Co-Management dalam Pengelolaan Taman Nasional Bunaken di Provinsi Sulawesi Utara.”
Lahir di Kolongan, Minahasa Utara, Elvira Mercy Katuuk telah lama aktif dalam perencanaan pembangunan wilayah, termasuk keterlibatannya sebagai counterpart pada berbagai program internasional. Pengalaman birokrasi dan jejaring lintas sektor memberi warna kuat pada analisisnya mengenai pengelolaan salah satu kawasan konservasi paling ikonik di dunia.
Melalui pendekatan kualitatif konstruktivis, ia menemukan bahwa praktik ko-manajemen di Bunaken belum sepenuhnya mencerminkan kolaborasi sejati. Fragmentasi kelembagaan, tumpang tindih kewenangan, minimnya pelibatan masyarakat lima generasi, serta dominasi aktor eksternal membuat kawasan ini rentan secara ekologis maupun sosial.
Elvira Mercy Katuuk menawarkan model ko-manajemen baru yang menekankan keadilan sosial-ekologis, pengakuan hak masyarakat lokal, integrasi kearifan tradisional seperti parimponang dan sapu pante, serta pembentukan badan koordinasi lintas sektor yang dipimpin pada level provinsi. “Keberlanjutan tidak akan terwujud tanpa relasi kuasa yang setara, mekanisme transparan, dan kepercayaan sosial yang tumbuh dari partisipasi yang bermakna,” tegasnya.
Promotor, Profesor Daniel D. Kameo, Ph.D., menyampaikan apresiasinya. “Tekanan akademik dalam proses ini cukup tinggi, tetapi Dr. Elvira berhasil melewatinya dengan sangat baik. Bersama Dr. Agnes, hari ini kita menyaksikan lahirnya doktor ke-99 dan ke-100 di lingkungan FID, sebuah tonggak penting dalam perjalanan akademik fakultas ini,” ujarnya.
Ilmu Sebagai Terang yang Tidak Boleh Disembunyikan
Promosi dan Yudisium ini juga dihadiri oleh pimpinan universitas dan institusi asal para promovendus. Rektor Universitas Janabadra, Dr. Risdiyanto, S.T., M.T., menyampaikan rasa bangga atas gelar doktor yang diraih Dr. Agnes, “Setiap doktor baru menambah kebanggaan kami. Semoga ada kolaborasi riset antar lembaga agar ilmu ini menjadi berkat bagi masyarakat luas,” tuturnya.
Sementara itu, Dekan FID UKSW yang memimpin jalannya sidang, Aldi Herindra Lasso, S.Pd., M.M.Par., Ph.D., menekankan esensi spiritual dari pencapaian akademik tertinggi. “Perjalanan ini tidak mudah, tetapi hari ini Ibu-Ibu telah berdiri pada puncak akademik sebagai doktor, pelita yang cahayanya tidak boleh disembunyikan. Hendaknya terang itu terus bercahaya, memberikan hikmat bagi dunia akademik dan bagi masyarakat yang dilayani,” pungkasnya.
Turut hadir Wakil Dekan FID UKSW sekaligus kopromotor, Titi Susilowati Prabawa, Ph.D., serta para penguji internal yaitu Profesor Daniel D. Kameo, Ph.D., Profesor Dr. Gatot Sasongko, Dr. Sri Suwartiningsih, dan penguji eksternal Dr. Tonny Hendratono. Hadir pula jajaran pimpinan Universitas Janabadra, yaitu Ketua Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi Janabadra Drs. Surjadiman, M.M., Wakil Rektor I Erna Sri Wibawanti, S.H., M.Hum., Wakil Rektor III Sunarya Raharja, S.H., M.Hum., serta Wakil Dekan I FEB Dr. Erni Ummi Hasanah, S.E., M.Si., dan Wakil Dekan II FEB Handoko Arwi Hasthoro, S.E., M.Si.
Rangkaian Promosi dan Yudisium ini bukan hanya penanda pencapaian akademik, tetapi juga ruang terwujudnya Tujuan Pembangunan (SDGs) 1 tanpa kemiskinan dan 8 pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, disusul SDGs 11 kota dan permukiman yang berkelanjutan, SDGs 14 ekosistem lautan, serta SDGs 16 perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh. Selaras dengan itu, riset keduanya juga kuat beresonansi dengan Asta Cita 1 tentang pengentasan kemiskinan dan pembangunan desa, Asta Cita 5 mengenai kelestarian lingkungan dan ekonomi hijau, serta Asta Cita 6 yang menegaskan pentingnya tata kelola kolaboratif lintas pemangku kepentingan. Salam Satu Hati UKSW! (Ish_TimKomblik/foto:Ish)
