Prof. Ariel Heryanto, Ph.D memulai karier akademiknya di UKSW, kemudian bekerja di beberapa negara, termasuk Singapura (mengajar di National University of Singapore) dan Australia. Lahir di Malang, 1954 sebagai anak bungsu dari empat bersaudara. 

Ariel berkuliah di Departemen Ilmu Bahasa jurusan Bahasa Inggris UKSW (Red. sekarang FBS-Fakultas Bahasa dan Seni). Mengenang masa berkuliah, Ariel berterima kasih pada banyak dosennya, termasuk Geoffrey Crewes dari Australia yang memperkenalkan Ariel dengan filsafat eksistensialisme. Saat itu, Ariel baru semester tiga ketika kelasnya diminta membaca satu buku, Ariel membaca lebih banyak buku. Sejak saat itu Ariel merasakan ketertarikan yang hebat dengan hal-hal tersebut dan mulai banyak membaca dan menulis. Tahun 1980, Ariel berhasil meraih gelar sarjana S1. Berlanjut dalam usia relatif muda, Ariel berhasil menyelesaikan Master of Art-Asian Studies (1984) dari Universitas Michigan Amerika Serikat dan menyelesaikan S3 Cultural Anthropology di Monash University, Australia (1994). Ia diangkat menjadi Guru besar di School of Culture, History and Language, The Australian National University, Australia.

Ketika masih menjadi pengajar di UKSW nama Ariel sering dihubung-hubungkan dengan berbagai aktivisme di kampus saat itu. Dalam kariernya sebagai intelektual, Ariel juga membangun banyak jaringan dengan kalangan ilmuwan di luar negeri. Seperti halnya beberapa koleganya di UKSW dulu, kemudian Ariel banyak menghadiri berbagai pertemuan intelektual di luar negeri baik sebagai peserta, peninjau maupun pembicara. 

Setelah beberapa tahun mengajar di NUS, Ariel kembali ke Australia dan mengambil posisi akademis di The University of Melbourne (2000). Tahun 2002, Ariel mendukung beberapa orang Indonesia di Melbourne meluncurkan Festival Film Indonesia di Melbourne (pertama dalam sepuluh tahun terakhir).

Ariel Heryanto diangkat menjadi anggota Australian Academy of the Humanities (2016) yang merupakan lembaga nasional tertinggi di Australia di bidang ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora) setelah beberapa tahun menjadi Ketua Jurusan Budaya, Sejarah dan Bahasa di Australian National University di Canberra. Ariel Heryanto menjadi orang kelahiran Indonesia kedua yang menjadi anggota Akademi. Yang pertama adalah Professor Ien Ang, seorang perempuan yang sekarang menjadi Direktur Institut Budaya dan Masyarakat di University of Western Sydney.

Upacara pemberian sertifikat bagi Ariel Heryanto diserahkan oleh Prof John Fitzgerald Presiden dari Akademi bersamaan dengan sidang tahunan ke-48 lembaga tersebut. Akademi untuk Bidang Ilmu Humaniora ini beranggotakan sekitar 600 sarjana paling senior di Australia, dan keanggotaannya tidak dapat dilamar atau didaftar. Ariel menjelaskan, anggota Akademi hanya diusulkan dan diangkat oleh Akademi lewat proses seleksi ketat dan berlapis yang melibatkan ratusan anggotanya selama setahun.

Tahun 2018, Ariel diangkat sebagai Direktur Pendiri Herb Feith Indonesian Engagement Center dan hanya dalam waktu dua belas bulan, mengalami laju kemajuan yang pesat. Herb Feith Indonesia Engagement Center bertujuan meningkatkan kerjasama Australia dengan Indonesia dalam berbagai bidang. Pencapaian Ariel, pertama, membangun kembali komunitas akademik Monash University dan sekitarnya yang berfokus ke Indonesia. Sejauh pengamatan Ariel, tingkat dan lingkup kerjasama Universitas Monash dengan Indonesia dalam tiga tahun terakhir belum pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya. Centre itu, menjadi bagian dari upaya universitas dan fakultas (Arts) untuk membina dan memperluas persahabatan dan kerjasama dengan berbagai mitra baru di Indonesia.

Dalam rangka meningkatkan keterlibatan dan hubungan Monash University dengan Indonesia dan memimpin Centre yang dipimpinnya mengambil beberapa inisiatif penting, diantaranya : Dialog Herb Feith bersama Dr. Sri Mulyani-Menteri Keuangan Indonesia, Prof. Arskal Salim-Kepala DIKTIS dan Dewi Lestari-penulis dan penyanyi; Monash Indonesia Seminar Series (MISS) bekerjasama dengan Perpustakaan Louis Matheson;  Herb Feith Centre International Conference ‘Orang Tionghoa Indonesia: Identitas dan Sejarah’; dan menjadi pembicara utama dalam acara di Australian Embassy 70th anniversary-hubungan diplomatik Australia-Indonesia. 

Sampai sekarang Ariel Heryanto telah menghasilkan sekitar 700 tulisan mengenai budaya, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris, selama 30 tahun karirnya sebagai ilmuwan sosial. Kumpulan tulisan itu terhimpun di https://arielheryanto.com/

Awal Maret 2020, Ariel mengakhiri tugasnya di Herb Feith Indonesian Engagement Center, sekaligus diangkat sebagai Emeritus Professor.

Bagikan di jejaring sosial: