Seminar Nasional Fakultas Hukum UKSW: Menelaah Perlindungan Hukum Perempuan dalam KUHAP 2025 di Tengah Euforia Regulasi Baru

Ketika Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2025 baru sepekan disahkan, Fakultas Hukum (FH) UKSW langsung melangkah cepat menanggapi perubahan tersebut. Melalui Seminar Nasional & Call for Posters Dies Natalis ke-66 bertema “Penguatan Perlindungan Hukum dan HAM Perempuan dalam KUHAP 2025”, FH UKSW bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) menghadirkan ruang akademik untuk membedah dinamika regulasi baru dalam sistem peradilan pidana.

Kegiatan yang digelar secara hybrid di Ruang F114, Rabu (26/11/2025) ini mempertemukan pakar nasional serta diplomat untuk menguji sejauh mana KUHAP 2025 mampu menjawab kerentanan perempuan di hadapan hukum. Antusiasme publik terlihat dari partisipasi lebih dari 140 peserta online dan 150 peserta offline yang mengikuti diskusi sepanjang sesi.

Dalam sambutannya, Dekan FH Profesor Dr. Christina Maya Indah S., S.H., M.Hum., menegaskan bahwa isu perempuan tidak bisa dipisahkan dari kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ia menyebut bahwa masih banyak kesenjangan pemahaman tentang kesetaraan gender di generasi muda, yang memicu maraknya kekerasan berbasis gender.

“Melalui forum ini, kita ingin menghadirkan gagasan strategis yang memberi dampak bagi masyarakat. Dies Natalis ke-66 harus menjadi bukti bahwa FH UKSW mampu menghadirkan pendidikan hukum yang reflektif, progresif, dan berpihak pada kemanusiaan,” ujar Guru Besar bidang Hukum Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak. ini.

Rektor UKSW Profesor Intiyas Utami, dalam sambutannya menyatakan bahwa seminar ini diharapkan dapat melahirkan solusi yang berdampak. “Kesetaraan gender adalah mandat global dan bagian dari SDGs (Sustainable Development Goals-red). UKSW harus ikut melahirkan solusi yang berdampak,” kata Rektor perempuan pertama di UKSW ini.

Rektor Intiyas juga menantang FH untuk mengambil peran lebih jauh yaitu melahirkan pendamping hukum yang mampu menangani kasus kekerasan, memperkuat Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT), hingga membawa karya mahasiswa ke tingkat pengambil kebijakan nasional. “Jadilah pemimpin. Bukan ekor, tetapi kepala,” tegas Rektor Intiyas yang juga mengapresiasi FH yang berhasil mempertahankan akreditasi Unggul. 

Melindungi Perempuan Seluruhnya

Sebagai keynote speaker, Staf Ahli Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Ratna Susianawati, S.H., M.H., menggarisbawahi bahwa perlindungan hukum perempuan adalah agenda negara yang tidak bisa dilakukan pemerintah saja. Ia memaparkan tantangan besar yaitu ketidaksetaraan gender, diskriminasi, kekerasan, dan beban kerja berlapis pada perempuan.

“Survei kami menunjukkan satu dari empat perempuan pernah mengalami kekerasan. Maka kebijakan, regulasi, dan pola komunikasi harus menjawab persoalan ini,” ujarnya. Ia juga mengapresiasi UKSW yang membuka ruang kolaborasi akar rumput dan berani mengangkat isu ini hanya beberapa hari setelah KUHAP disahkan.

Perlindungan Hukum Perempuan dalam KUHAP 2025
Perlindungan Hukum Perempuan dalam KUHAP 2025

Melanjutkan pemaparan tersebut, Head of Programmes UN Women Indonesia Dwi Yuliawati mengurai enam prinsip layanan esensial bagi perempuan korban kekerasan. Ia menegaskan bahwa tidak semua korban bisa menjadi penyintas tanpa dukungan sistem hukum. 

“Layanan berkualitas harus memastikan pelaku bertanggung jawab, sementara beban mencari keadilan tidak boleh diletakkan di pundak penyintas,” tegasnya. Ia juga memaparkan tentang stigma, rasa bersalah, ketidakberdayaan, dan diskriminasi yang sering menjerat korban.

Sementara itu, Duta Besar Indonesia untuk Uzbekistan, Profesor Dr. Hj. Siti Ruhaini Dzuhayatin, yang telah 30 tahun bergelut dalam isu gender dan HAM, menegaskan bahwa perlindungan perempuan merupakan mandat konstitusi. “Hukum harus terintegrasi dengan nilai moral, sosial, dan spiritual. Supremasi hukum tidak boleh tunduk pada siapa pun,” ujarnya. Ia menyoroti pentingnya sinkronisasi antara norma nasional dan prinsip universal martabat manusia.

Hukum Tanpa Bias

Pada sisi lain, Ketua Umum ASPERHUPIKI Dr. Fachrizal Afandi, mengapresiasi langkah cepat FH UKSW. “Ini adalah seminar pertama di dunia yang membahas KUHAP 2025. Undang-undangnya bahkan belum memiliki nomor. Ini terobosan,” katanya.

Ia juga menyoroti isu meningkatnya jumlah perempuan sebagai pelaku kejahatan dan pentingnya asesmen sensitif gender yang kini diwajibkan penyidik. Jika UKSW berani membuat proyek percontohan asesmen berbasis gender di Salatiga, katanya, FH UKSW akan menjadi rujukan nasional.

Dalam pemaparannya sebagai narasumber, Profesor Maya menjelaskan teori hukum feminis yang menolak klaim netralitas hukum. “Hukum perlu mengakui keberagaman pengalaman perempuan. Kita tidak bisa terus menerus menghadirkan hukum yang buta gender,” tegasnya. Ia menekankan pentingnya hukum yang inklusif, humanis, dan sensitif terhadap kenyataan sosial perempuan.

Seminar nasional ini dimoderatori oleh Dr. Jeferson Kameo, S.H., LL.M., yang memastikan diskursus mengalir kritis dan terstruktur, menghubungkan perspektif negara, diplomasi, akademik, dan lembaga internasional ke dalam satu forum konstruktif.

Selain seminar, ASPERHUPIKI dan FH UKSW juga menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang ditandatangani langsung oleh Dr. Fachrizal Afandi dan Profesor Dr. Christina Maya Indah. Kegiatan Call for Posters turut digelar dengan partisipasi mahasiswa, akademisi, dan peneliti yang menampilkan karya terkait perlindungan perempuan, kekerasan berbasis gender, dan pembaharuan KUHAP. Pada penutupan acara, diumumkan tiga poster terbaik, yaitu karya Laras Astuti, Trisno Raharjo dan Heri Purwanto; Kayla Aidah Kianqa dan Metanoia Pelangi Gunarto; serta Brilian Justicia Huber Tapilatu dan Octaviani Dwi Hastuti.

Melalui seminar nasional ini, FH UKSW menegaskan kontribusinya terhadap Tujuan Berkelanjutan (SDGs) 5 kesetaraan gender, SDGs 10 berkurangnya kesenjangan, dan SDGs 16 perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh. Kegiatan ini juga sejalan dengan Asta Cita Presiden, khususnya Asta Cita 1 tentang pembangunan manusia unggul, Asta Cita 4 mengenai perlindungan HAM, serta Asta Cita 8 tentang penguatan diplomasi dan jejaring global.

Sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terakreditasi Unggul, UKSW telah berdiri sejak 1956 dengan 15 fakultas dan 65 program studi di jenjang D3 hingga S3, dengan 34 Prodi Unggul dan A. Terletak di Salatiga, UKSW dikenal dengan julukan Kampus Indonesia Mini, mencerminkan keragaman mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah. Selain itu, UKSW juga dikenal sebagai “Creative Minority” yang berperan sebagai agen perubahan dan inspirasi bagi masyarakat. Salam Satu Hati UKSW! (Ish_TimKomblik/foto:Ish)

Perlindungan Hukum Perempuan dalam KUHAP 2025
Perlindungan Hukum Perempuan dalam KUHAP 2025

Bagikan:
Facebook
Share
WhatsApp