Istilah privatisasi sering kita temukan pada sebuah benda atau aset, seperti saham. Namun sadarkah bahwa kelas dan pembelajaran tanpa disadari juga dapat diprivatisasi? Kata privatisasi mengarah pada proses pengalihan kepemilikan, pengelolaan, atau pengendaliannya. Ternyata ChatGPT telah mengidentifikasi bentuk privatisasi pendidikan. Praktik privatisasi yang dimaksud bukanlah pengalihan pendanaan sekolah atau hal yang bersifat materialis. Namun, praktik privatisasi yang mengarah pada proses perubahan kepemilikan kelas menjadi sepenuhnya miliki guru tanpa kontribusi pengelolaan siswa. Privatisasi kelas mengkerdilkan peran siswa hingga membuat mereka sebagai kumpulan pekerja dari guru. Situasi ini memang tidak terlihat secara terstruktur dan sistematis. Namun, dampaknya justru sangat besar bagi siswa di masa depan termasuk saat siswa tersebut masuk di perguruan tinggi.
Karakteristik paling menonjol privatisasi adalah pada pengalihan kepemilikan yang cenderung mengarah kepada kepemilikan individu atau kelompok eksklusif. Merujuk pada teori ini, ditemukan juga dampak positif dan negatif dari proses privatisasi. Dampak positifnya adalah: kualitas yang dapat dikelola dengan lebih intens, memberi peluang inovasi yang tinggi, menunjukkan pola yang lebih stabil karena dikelola oleh orang tertentu. Sedangkan, dampak negatifnya adalah: terjadi ketimpangan akses akibat peran individu sangat tinggi, menurunkan peran dari pengguna yang lebih luas akibat sudut pandang yang digunakan sangat subyektif, terjadi eksklusivisme akibat individu tertentu akan memiliki gaya unik yang cocok hanya pada dirinya dan sebagian orang. Bagaimana dengan kelas di sekolah? Apakah kelas adalah milik guru? Apa saja bentuk privatisasi kelas dan pembelajaran?
Kelas tidak sepenuhnya milik guru. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 12 tahun 2024, tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar dan Jenjang Pendidikan Menengah menjelaskan dengan rinci bahwa pendidikan salah satunya guru adalah sebutan bagi seseorang yang berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Kata partisipasi yang dipilih dalam Peraturan Menteri ini jelas menggambarkan bahwa guru bukanlah 100% pemilik kelas. Sebagai penguat dari argumen ini, telah tertulis pada Peraturan Menteri yang sama di bagian Karakteristik Pembelajaran poin ketiga. Tertulis bahwa pembelajaran wajib memprioritaskan terjadinya kemajuan belajar peserta didik dibandingkan dengan cakupan muatan kurikulum lainnya. Dengan sangat pasti keberhasilan mengajar seorang guru didasarkan pada kemajuan belajar peserta didik/siswa. Prinsip ini terkadang terbalik 180 derajat di lapangan. Indikator keberhasilan kelas seringkali ditentukan dari kesesuaian aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru sesuai dengan modul ajar atau sintaks model pembelajaran. Jika kondisi ini terjadi terus menerus, maka dapat dipastikan privatisasi kelas telah terjadi tanpa disadari. Awalnya, guru melakukan hal tersebut dengan niat baik untuk memberikan layanan prima bagi peserta didik, namun lama kelamaan, kenyamanan pengendalian kelas yang hanya berpusat pada dirinya akan mengubah niat baik tersebut menjadi privatisasi kelas tanpa disadari.

Kondisi serupa sebenarnya juga dialami oleh sekolah-sekolah di Jepang, terutama sekolah grassroot atau yang jauh dari kota besar. Melalui sebuah Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh School as Learning Community (SLC) committee di Februari 2025 yang berjudul: Higher Quality Learning and More Equitable Education, disampaikan bahwa praktik privatisasi kelas memiliki beberapa ciri. Pertama, posisi guru yang selalu ada di depan untuk minta diperhatikan dan wajib terlihat oleh siswa. Namun sebaliknya, siswa ada pada baris-baris tertentu yang terkadang wajahnya tidak terlihat oleh guru. Kondisi yang tidak setara ini jelas menunjukkan perbedaan kewenangan dan kepemilikan dalam pembelajaran di kelas. Maka wajar jika motivasi siswa rendah untuk belajar. Mereka merasa kelas dan seluruh aktivitasnya adalah milik guru. Kedua, indikator penilaian yang tidak pernah diketahui siswa kecuali mendekati waktu ujian atau tes. Siswa menjalani proses belajar selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, namun belum mengetahui konsep penilaian yang akan dilakukan guru. Siswa baru mendapatkan kejelasan penilaian dalam kurun waktu seminggu sebelum tes berlangsung. Maka wajar jika siswa sering mengalami panik, ketakutan dan gelisah saat menghadapi tes. Pada akhirnya berbuat curang dengan mencontek atau tidak berusaha maksimal adalah beberapa jalan yang sering ditempuh untuk lolos tes. Kondisi ini menunjukkan privatisasi kelas karena seolah-olah soal adalah rahasia besar yang harus disembunyikan guru. Posisi siswa menjadi pekerja yang mau tidak mau menerima. Ketiga, durasi waktu penyelesaian tugas yang sepenuhnya ditentukan guru tanpa kompromi dengan siswa. Terkadang sebagai sebuah kebiasaan, guru langsung menentukan durasi waktu mengerjakan projek, soal atau sejenisnya sesuai dengan keinginan dan pemikiran guru. Mereka menganggap hal ini telah dilakukan dengan benar karena pengalaman bertahun-tahun mengajar, namun lupa menanyakan kesanggupan siswanya. Kondisi ini jelas menunjukkan privatisasi kelas yang sangat kuat. Siswa di posisi sebagai buruh kerja dengan batasan waktu yang tidak bisa ditolak.
Ketiga ciri privatisasi kelas yang dipelajari dalam SLC di Jepang mengingatkan pada kondisi pembelajaran di Indonesia. Masih banyak sekolah grassroot di Indonesia yang terbelenggu dengan kondisi yang sama. Kondisi jumlah siswa yang banyak sama seperti di Jepang dengan karakter bangsa Asia turut menjadi kendala besar melawan privatisasi kelas. Seharusnya sudah cukup bagi Indonesia yang terus menerus terbuai dengan gaya belajar bangsa barat dengan melakukan adopsi kurikulumnya. Kondisi kita berbeda. Masyarakat Indonesia punya karakter serta pola asuh anak yang jauh berbeda dengan bangsa barat. Kondisi ini juga yang perlu dicari solusinya.
SLC memberikan beberapa solusi untuk meminimalisir privatisasi kelas dan pembelajaran. Pertama, dengan pendidikan karakter yang berisi penguatan keterampilan hidup serta motivasi belajar melalui pembiasaan di sekolah dasar. Konten materi di sekolah dasar perlu disesuaikan, namun diarahkan pada penguasaan keterampilan hidup serta motivasi belajar. Mengurangi konten hafalan materi dan variasinya adalah penting di sekolah dasar. Dengan pembiasaan ini, maka dikemudian hari siswa dan guru mampu menunjukkan rasa kepemilikan terhadap pembelajaran yang setara. Di Jepang, siswa dilatih untuk membersihkan kelas, memelihara barang-barang di kelas, mengetahui peraturan sekolah, melatih fisik-motorik, melatih sikap dan rasa hormat dengan jumlah jam belajar lebih banyak ketimbang menghafalkan materi atau berjibaku dengan berulang kali ujian tes. Kedua, modifikasi bentuk kelas sehingga posisi guru tidak hanya di depan. Selain itu, wajah antar siswa dan guru dapat dengan mudah berhadapan saat melakukan interaksi belajar. Ketiga, memberikan kesempatan pada siswa untuk memberikan usul kegiatan belajar yang ingin dilakukan. Siswa kelas 1 Sekolah Dasar (SD) sekalipun, sebenarnya mampu memberikan usul mereka tentang kegiatan belajar yang ingin dilakukan, jika dibiasakan dan diberi kesempatan. Keempat, siswa memiliki pengetahuan yang utuh tentang produk akhir pembelajaran yang akan mereka lakukan termasuk kriteria penilaian. Kendala di lapangan, guru terkadang belum menentukan jenis penilaian dan cenderung membuatnya secara mendadak. Kelima, SLC memberikan solusi pembiasaaan komunikasi antar siswa dan guru melalui jurnal mingguan atau bulanan. Dengan tulisan-tulisan ini, pendapat setiap anggota kelas termasuk guru dapat diakomodir. Cara ini mampu memberi masukan pembelajaran sehingga tingkat privatisasi kelas dapat menurun. Keenam, perlunya festival hasil belajar yang mengundang orang tua. Kegiatan ini sesungguhnya telah muncul dalam Kurikulum Merdeka dengan kemasan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Namun, kegiatan ini terancam punah atau bahkan sering disalahartikan sebagai titipan projek guru yang dilakukan siswa. Ketidaksesuaian prinsip yang dipahami dalam P5 menjadi masalah tersendiri walaupun filosofi programnya cukup bagus. Melalui solusi tersebut, diharapkan tingkat privatisasi kelas dapat dikurangi. Karena kebermaknaan pembelajaran sesungguhnya diberikan sepenuhnya untuk siswa. Komitmen bersama antara guru dan siswa diperlukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. (Gam/Upk_TimKomblik/foto:istimewa)