Menyinari Masa Depan dengan Fotokimia
Yoshua Albert Darmawan, yang biasa dipanggil Albert, adalah seorang peneliti di bidang fotokimia, cabang ilmu kimia yang mempelajari reaksi kimia yang dipicu oleh cahaya. Penelitian fotokimia sendiri dapat diaplikasikan ke berbagai teknologi modern, seperti panel surya, teknologi display, pencitraan biologi, dan fotokatalisis. Saat ini, ia menjabat sebagai Postdoctoral Researcher di Toyota Technological Institute di Nagoya, Jepang. Yoshua memulai perjalanan akademisnya di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga. Setelah meraih gelar sarjana, ia melanjutkan studinya ke Jepang di Kwansei Gakuin University, di mana ia meraih gelar Master dan Doktor di bidang Applied Chemistry for Environment. Albert menempuh studi magister dan doktor di Kwansei Gakuin University, Jepang, di bawah bimbingan Prof. Sadahiro Masuo, seorang ahli spektroskopi di bidang fotokimia.
Setelah menyelesaikan program doktor, Albert melanjutkan karirnya sebagai peneliti postdoctoral di Toyota Technological Institute, di mana ia meneliti optical tweezer—metode yang memanfaatkan cahaya untuk memanipulasi mikro- dan nanopartikel dalam kolaborasi dengan Prof. Takao Fuji dan Dr. Tetsuhiro Kudo. Penelitiannya berfokus pada pengembangan teknologi optical force spectroscopy dengan mengintegrasikan mid-infrared laser dan optical tweezer. Laboratoriumnya adalah yang pertama di dunia yang menggabungkan teknologi ini. Penelitian ini meraih penghargaan Excellent Presentation Award pada konferensi tahunan Laser Society of Japan 2023 dan dipublikasikan di Journal of Physical Chemistry Letters.
Mengapa Jepang? Albert merasa bahwa banyak hal dapat dipelajari dari Jepang. Selain teknologinya yang maju, Jepang juga dikenal karena kedisiplinan dan profesionalisme sumber daya manusianya. Albert mengamati bahwa segala sesuatu di Jepang berjalan lebih lancar dibandingkan dengan di Indonesia. Meskipun birokrasi di Jepang tergolong rumit dan terdapat banyak aturan, semua orang mematuhi peraturan tersebut sehingga segala sesuatunya tetap berjalan lancar sesuai dengan aturan.
Apakah tantangan terbesar hidup di Jepang? Salah satu tantangan terbesar yang Albert hadapi di Jepang adalah Bahasa Jepang. Bahasa ini memiliki tingkat kesopanan yang kompleks, serta perbedaan signifikan antara cara berbicara dalam konteks profesional dan percakapan sehari-hari. Albert mengakui bahwa ia masih merasa kurang percaya diri ketika harus mengajar kelas, memberikan presentasi, atau berbicara dengan rekan dari perusahaan dalam Bahasa Jepang.
Adakah semacam culture shock selama berada di Jepang? Albert sudah cukup terekspos dengan budaya Jepang sebelum berangkat, sehingga ia tidak merasakan culture shock yang signifikan. Namun, ada satu hal yang sangat mengganggunya, yaitu masalah kesetaraan gender di Jepang yang menurutnya lebih buruk dibandingkan dengan di Indonesia. Albert menjelaskan bahwa di Jepang sering kali terlihat pemisahan yang jelas antara pergaulan pria dan wanita, dengan asumsi bahwa pekerjaan tertentu hanya untuk pria atau hanya untuk wanita. Ia pernah mendengar komentar yang sangat mengejutkan, seperti “Orang itu (wanita) tidak produktif karena harus pulang lebih awal untuk memasak makan malam bagi keluarganya.” Menurutnya, hal ini sangat mencengangkan, karena ia menganggap bahwa seharusnya di negara maju, pandangan seperti itu sudah tidak ada lagi. Meskipun ia menyadari bahwa tidak semua orang berpikiran demikian, namun menurutnya, pandangan semacam itu masih cukup banyak ditemui di Jepang.
Apakah yang paling dirindukan dari Indonesia? Di tengah kesibukan, Albert sering merindukan masakan tradisional Indonesia seperti gudeg, sate, dan nasi liwet. Makanan-makanan tersebut sulit ditemukan dengan cita rasa otentik di Jepang. Ia juga mencatat keprihatinannya terhadap tren di Indonesia, di mana makanan asing lebih populer dibandingkan kuliner lokal.
Apakah menjadi pedoman hidup anda? Albert sangat mengagumi sebuah ungkapan dari Italia, yaitu “Dolce far niente,” yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “Manisnya tidak melakukan apa-apa.” Menurutnya, ungkapan ini mencerminkan filosofi hidup yang menghargai keindahan dalam jeda, ketenangan, dan kesederhanaan, jauh dari hiruk-pikuk rutinitas. Bagi Albert, ini bukan tentang bermalas-malasan secara negatif, tetapi lebih kepada menikmati waktu luang dengan kesadaran penuh. Ia menyukai gagasan untuk duduk di taman, menikmati secangkir kopi, atau merenungkan hidup dengan damai.
Albert juga terinspirasi oleh lirik dari musik kuno Epitaph of Seikilos, sebuah karya yang ditulis oleh Seikilos pada batu nisan istrinya yang telah meninggal.” Di mana kita harus melakukan yang terbaik di hidup kita karena kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang kita peroleh selama kita hidup. Lirik tersebut berbunyi: “While you live, shine, have no grief at all; life exists only for a short while, and time demands its toll.”